Menghidupkan Lagi Nilai Luhur Tari Cokek Sipatmo

Peragaan Tari Cokek Cina Benteng

Oleh Tri Endang Sulistyowati

TIGA PEREMPUAN CANTIK berdandan menor berjoget ngibing di atas panggung. Pakaiannya serupa kemben yang dipadu dengan kain tapih yang digulung mengikuti lekuk pinggul dan diikat dengan selendang. Gerakannya lincah mengikuti irama musik gambang kromong yang mengalun dengan nuansa ceria. Kaki dan tangannya digerakkan seirama goyang pinggul yang melenggak-lenggok lemah gemulai cenderung erotis.

Sesekali mereka mendekati para tamu pria, menggodanya, dan mengalungkan selendang ke leher pria itu sebagai tanda ajakan berjoget. Siapa yang berjoget dengan sang penari lazimnya memberikan uang saweran yang biasanya diselipkan pada ikatan selendang si penari. Yang paling sering adalah di sela-sela payudara penari yang dibalut kemben dengan belahan dada rendah.

Hanya pria-pria kaya yang dapat berjoget berlama-lama dengan penari ini. Seorang penari berjoget dengan seorang pria secara berpasangan. Tak jarang dalam keadaan setengah mabuk dan menebarkan aroma minuman keras. Malam semakin larut dan tarian mereka semakin panas. Kepulan asap rokok bercampur dengan aroma minuman keras.
  
larut dalam alunan musik tradisional yang memekakkan telinga. Panggung Tari Cokek ini akan terus bertahan selama masih ada pria-pria tukang sawer yang melantai. Di perayaan pernikahan salah satu rumah warga Kampung Sewan, Kota Tangerang inilah pertama kalinya aku menyaksikan Tari Cokek secara langsung. Tak jauh berbeda dengan kabar yang sering kudengar sebelumnya, tarian ini menampilkan keindahan gerakan tari sekaligus nuansa erotisme berbalut tradisi.

Tarian ini mulai dikenal di Indonesia pada abad ke-19 melalui para pendatang Cina di Indonesia. Tarian ini sebenarnya perpaduan antara budaya Betawi dan Cina, makanya musik yang mengiringi adalah gambang kromong yang identik dengan budaya Betawi. Tarian ini mengambil gerakan tarian Cina dengan ensembel musik Betawi, yang pada masa lalu dijadikan tari pergaulan (social dance) yang dilakukan pada saat acara adat berlangsung.

Pemainnya adalah penari Cokek wanita yang disewa secara khusus dan pria-pria tamu undangan yang diambil secara insidental dari kalangan pengunjung. Seiring perkembangan zaman, tarian ini mulai redup pamornya berganti dengan penampilan modern yang lebih ngepop.

Namun di komunitas Cina di Tangerang, yang dikenal dengan Cina Benteng, Tari Cokek masih eksis. Pada acara-acara tertentu, seperti perkawinan, tarian ini dipertunjukkan. Sejarah munculnya tarian ini berawal dari adanya pentas hiburan yang diadakan seorang tuan tanah di Tangerang bernama Tan Sio Kek. Berawal dari pertunjukan itulah para penari dikenal sebagai penari Cokek. Tentunya nama itu diambil dari kata “Tan Sio Kek,” orang pertama yang mengilhami pertunjukan ini.

Konon pada awalnya tarian ini murni pertunjukan, tanpa erotisme, minuman keras, dan saweran. Namun dalam perkembangannya tarian ini telah berevolusi menjadi sexy dancing dan dekat dengan pelacuran. Entah mulai tahun berapa perubahan ini terjadi.

Tanpa diketahui penyebabnya, Tari Cokek berubah menjadi tarian hiburan yang menonjolkan gerakan rangsangan syahwat dan identik sebagai penghibur laki-laki. Tari Cokek yang semula sebagai tarian agung berubah menjadi tarian hiburan yang menonjolkan gerakan yang penuh dengan stigma negatif.

Secara ekstrem, tarian ini dituduh sebagai tarian seronok, vulgar dan merendahkan martabat perempuan karena sang penari akan dikerubuti partisipan laki-laki. Sambil menari terjadi aksi colak-colek pada bagian tubuh sang penari perempuan.

***

Bulan April 2015, kami telah tiga tahun mendampingi ibu-ibu Cina Benteng dalam program “Peduli” yang bergerak dalam usaha pemberdayaan sosial dan ekonomi. Kini program itu akan dilebarkan pada usaha pemberdayaan budaya, khususnya seni pertunjukan komunitas Cina Benteng. Seni budaya Cina Benteng adalah salah satu aset budaya kota Tangerang. Menurutku ini erat kaitannya dengan wisata dan perekonomian lokal. Oleh karena itulah LSM Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW), Jakarta, kemudian mulai merintis program pemberdayaan kesenian Cina Benteng dengan mengadakan pelatihan tari Sipatmo bagi ibu-ibu pengurus KWPS Lentera Benteng Jaya dan sejumlah siswi SMP Gracia di kelurahan Mekarsari Kota Tangerang.

Tari Cokek Sipatmo adalah sebuah tarian agung yang dipersembahkan pada acara khusus, seperti upacara di kelenteng, perkawinan atau perayaan tahun baru Cap Gomeh. Tari Cokek Sipatmo memiliki empat ragam gerak. Yang pertama adalah Gerak Soja di dada yang mengisyaratkan agar menjaga hati selalu bersih. Gerak Soja berhadap-hadapan melambangkan saling menghormati dan saling menyayangi, gerakan seperti mengayuh perahu bermakna mengarungi samudra kehidupan, gerakan menunjuk sembilan lawang (pintu) masuknya noda yang kalau tidak dijaga dengan baik dapat mengotori sanubari.

Satu persatu dari empat gerakan Tari Sipatmo dengan sebutan-sebutannya adalah Gerak Soja, Nindak lenggang, Geser kanan kiri, Ngawen, Nindak Lenggang, Ngawun, Nindak Lenggang, Pelipis, Japing, Nindak Lenggang, Nindak Empat, Geser Kanan Kiri, Geser Kanan Kiri, Sliwa, Sliwang, Nindak Lenggang, Glatik Nguk Nguk , Tumpang Depan, Tumpang Belakang dan Soja Akhir.

Dalam gerakan-gerakan itu terkandung nilai luhur yang implisit di dalamnya. Gerakan-gerakan itu secara integratif melambangkan aksi menjaga kesucian sembilan lubang yaitu hati, ampun kepada sang pencipta, menjaga pikiran, menjaga telinga, menjaga mata, menjaga hidung, menjaga mulut, menjaga vagina dan menjaga dubur.

***

Latihan tari Cokek
Awalnya aku sama sekali tak mengerti mengenai filosofi tarian itu. Dari yang aku lihat, Tari Cokek hanyalah erotisme kampungan yang memang bernuansa budaya. Pengetahuanku tentang hal ini
timbul pada saat mengikuti workshop kesenian Tari Cokek khas Cina Benteng dengan nara sumber Rachmat Ruchiat yang diseleng-garakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kota Tangerang.


Dari acara itu aku dapat informasi tentang latar belakang kesenian ini yang bersumber dari tari Religius Sipatmo. Keberadaan Tari Cokek yang sekarang adalah produk distorsi sedemikian rupa sehingga yang muncul hanya gerakan erotis yang sarat dengan konotasi negatif.

Salah satu tujuan kami dalam program pendampingan budaya ini adalah menggali, merekonstruksi, dan merevitalisasi Tari Cokek Sipatmo kepada bentuk awalnya yang orisinal. Tentu saja hal itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, mengingat tari tersebut dalam bentuk aslinya sebenarnya telah punah. Karena keterputusan generasi maka semakin sulit menemukan narasumber yang mampu menjelaskannya.

Untuk itu dilakukanlah riset tentang Tari Cokek Sipatmo oleh PPSW Jakarta bekerja sama dengan Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Kegiatan ini ternyata cukup menarik perhatian para perempuan Cina Benteng di Kampung Sewan karena tariannya berbeda dengan yang biasa mereka saksikan di ajang pesta perkawinan (Tari Cokek). Tari Sip Pat Mo merupakan versi pengembangan dari Tari Cokek yang telah diturunkan secara khusus oleh seorang tokoh tari tradisional bernama Memeh Karawang atau Tan Gwat Nio pada tahun 1980-an di Jakarta. Tari ini yang diperkenalkan melalui program Dinas Kebudayaan Jakarta dan juga di Institut Kesenian Jakarta ini baru berkembang secara terbatas dan belum di kenal secara meluas. Langkah menggali kembali nilai luhur Tari Cokek dimulai

dengan mencari tahu sebanyak-banyaknya tentang Tari Cokek kepada narasumber yang paham tentang tarian kuno ini. Budayawan Rachmat Ruchiyat, Kartini Kisam, dan Julianty L. Parani merupakan orang-orang yang memiliki minat dalam persoalan ini. Mereka menjadi teman bincang-bincang yang informatif bagi para pendamping sepertiku. Selain obrolan langsung, berbagai buku dan pengalaman mereka sangat membantu kami dalam mencari tahu tentang Tari Cokek.

Topik Tari Cokek ini muncul pertama kali dari kegiatan program Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di bulan Desember 2014. Program DKJ yang bertujuan untuk merevitalisasi tari Sip Pat Mo―salah satu versi Tari Cokek Betawi―sebagai alternatif untuk mengangkatnya sebagai seni pertunjukan. Acara ini kemudian di tayangkan Metro TV dengan tajuk ’Melawan Lupa’ di bulan Januari 2015. Program revitalisasi ini bak gayung bersambut dengan program PEDULI 2015 dari PPSW Jakarta yang sedang memberdayakan perempuan Cina Benteng di Tangerang melalui pengenalan disertai pelatihan tari Sip Pat Mo bagi perempuan Cina Benteng.

Pada awalnya aku merasa aneh waktu diminta PPSW Jakarta untuk mengajar ibu-ibu pengurus koperasi untuk menari. Mengapa ada koperasi yang mau mengembangkan seni Tari Cokek Sipatmo? Aku masih tidak mengerti sampai dijelaskan tentang program ini. Ternyata program ini merupakan perluasan program sebelumnya yang kini menyasar tentang kesenian dan mendapat dukungan dari Kementrian PMK.Setelah dipraktikkan di lapangan, sambutan ibu-ibu cukup positif. “Tari Cokek gerakannya lembut, tetapi kalau kita membawakannya dengan hati, gerakan kita akan berbeda,” kata Heny, ketua Sanggar Tari Lentera, yang mengajarkan kembali tarian ini.

Menurut Heny, setiap gerakan memiliki makna dan pancaran keindahan tersendiri. “Saya bangga mengenakan seragam penari Cokek Sipatmo yang memiliki nilai-nilai agung,” tambahnya. Padahal awalnya ia merasa tidak bersimpati dengan tarian ini. Menurut Heny, ketika pertama kali diajak PPSW Jakarta belajar Tari Cokek Sipatmo ia bingung. “Sebagai perempuan Cina Benteng saya tidak pernah tahu kalau nenek moyang kami memiliki tarian Cokek Sipatmo yang begitu unik dan memiliki nilai luhur” tambahnya.

Rupanya citra buruk Tari Cokek telah memudarkan sinarnya selama berabad-abad lamanya. Pada saat pertama kali mengajak ibu-ibu belajar tarian ini ternyata tidak mudah. Mendengar namanya saja mereka sudah malas. Namun setelah dijelaskan sejarahnya, mereka menjadi ingin tahu.

“Pertama kali mau belajar Tari Cokek tidak dibolehkan suami, karena suami beranggapan kalau menari Cokek sama dengan PSK” kata Vera, salah satu anggota sanggar tari Pelita yang kini ikut belajar Tari Cokek.

Problem stigma buruk Tari Cokek juga dirasakan Susi. Pertama kali diajak belajar Tari Cokek ia merasa ragu dan agak risih. Setahu Susi, tarian ini terkesan liar dan tidak beretika. Penarinya saling berdekatan, banyak colak-colek, sering kali berpelukan erotis, dan sambil minum minuman alkohol.

Namun setelah tahu Tari Cokek Sipatmo ini sesungguhnya, persepsi Susi jadi berkebalikan 180 derajat. “Tarian ini sangat indah, terhormat serta membanggakan masyarakat Cina Benteng,” katanya.
Untuk mendapatkan anggota, pengurus sanggar tari akhirnya bergerilya dari rumah ke rumah dan menanyakan satu per satu dengan banyak menjelaskan apa itu tarian Cokek. Dari gerilya itu akhirnya diperoleh juga 20 orang anggota yang mau belajar menari Cokek.

”Gerakan saya awalnya kaku, tapi saya suka Tari Cokek Sipatmo, ada gairah dan kelembutan di dalamnya,” kata Vera. Menurutnya, ia setiap hari belajar tarian ini di mana pun berada, sambil memasak, menyapu, dan sambil mengerjakan pekerjaan rumah yang lain. Setiap ada kesempatan Vera berlatih sendiri di rumah hingga sekarang gerakannya mulai luwes.

Lokasi latihan tarian ini adalah di aula kantor Kelurahan Mekarsari. Tarian ini sempat menarik perhatian Lurah Mekarsari. Awalnya Pak Lurah menyimak saja namun kemudian memberi perhatian khusus pada tarian ini sehingga mengusulkan agar latihan ini juga diberikan untuk anak-anak siswa sekolah.

Tak disangka, Pak Lurah sendiri yang mendatangi pihak sekolah untuk mewujudkan idenya itu. Akhirnya Sekolah Gracia bersedia bekerja sama dengan sanggar tari Lentera, terutama karena lokasinya dekat dengan kelurahan.

***

Kamis sore ini cuaca cukup cerah, seolah menyambut kami pada hari pertama belajar menari. Suasana cukup meriah karena banyaknya peserta, jauh di atas ekspektasi kami. Sebanyak 40 orang, terdiri dari 20 orang anggota koperasi dan 20 orang siswa SMP Gracia berbaris rapi dengan pakaian biasa dengan dibalut selendang di pinggul. Di kantor desa Mekarsari yang berupa pendopo yang luas ini, musik gambang kromong mengalun merdu dari salon besar yang ada di dua sisi ruangan.

Irama musik yang ritmik mengiringi langkah-langkah kaki dan lambaian tangan para penari yang rancak. Ibu Kartini Kisam dari Institut Kesenian Jakarta memandu gerakan dengan aba-aba yang tegas dan mudah dipahami.


Suasana ini sungguh mengesankan bagi kami. Hari Kamis adalah hari yang ditunggu-tunggu untuk mengikuti latihan Tari Cokek Sipatmo yang memiliki filosofi mendalam. Dua bulan berlatih menari adalah waktu-waktu yang penuh dinamika.

Akhirnya masa dua bulan belajar menari selesai. Walau kami merasa belum mahir penari, namun proses belajar sudah harus diselesaikan. Meski secara resmi event latihan telah selesai, namun ibu-ibu tetap berlatih sendiri agar lebih percaya diri dan lebih luwes gerakannya. Kami pun membuat baju seragam, berupa baju atasan gaun Cina berwarna kuning. Warna ini mengandung keberkahan dan rezeki. Bagian tengahnya berupa selendang berwarna merah yang mengandung makna ceria dan semangat.

Celananya berwarna ungu yang merupakan paduan anggun dari warna-warna yang ada. Penari Cokek Sipatmo biasanya menata rambutnya berupa sanggul cepol atau kepangan rambut yang digelung dicepol. Warna rambut ini menyimbolkan sesuatu. Apabila rambutnya dikepang dengan warna emas, itu menandakan bahwa yang punya hajat adalah orang berada. Sedangkan warna kepang merah menandakan yang punya hajat adalah orang biasa. Warna merah sendiri bagi orang Cina mengandung makna keceriaan dan semangat Jika ada penari yang sedang berkabung atau berduka karena ada suami atau anggota keluarganya meninggal dunia, maka ia tetap boleh mengikuti pentas Tari Cokek Sipatmo dengan baju khusus berwarna biru dan celana warna putih, serta selendang warna biru.

Pada umumnya pentas Tari Cokek Sipatmo menggunakan kostum dengan warna mencolok seperti kuning keemasan, ungu dan merah. Namun pada kondisi jika yang berhajat sedang berduka dan
belum genap satu tahun, maka menurut adat warga Cina Benteng,  para penampil tarian Cokek Sipatmo tidak boleh menggunakan warna baju mencolok tersebut.

***

Jantungku berdegub kencang. Masa yang mendebarkan itu datang ketika kami pentas perdana menari Cokek Sipatmo pada acara Peringatan Hari Bumi di Aula Kecamatan Neglasari, tanggal 22 April 2016. Kami diundang oleh Karang Taruna untuk menampilkan tarian yang masih baru bagi kami ini. Segala macam rasa campur aduk. Deg-degan, panik, cemas, takut dan khawatir tidak hafal dengan gerakan tariannya bercampur jadi satu di benak kami.

Warga telah berjubel ingin tahu Tari Cokek Sipatmo asli yang sudah lama sekali tidak terlihat. Selama ini yang mereka ketahui Tari Cokek ditampilkan pada saat orang memiliki hajat di Rumah Kawin.

“Tangan saya dingin semua, jantung berdegub kencang padahal sudah latihan,” kata Vera. “Saya sebenarnya pemalu, tetapi senang dan bangga bisa tampil dan menari di panggung. Rasa was-was, grogi dan takut salah membuat kepercayaan diri saya turun,” timpal Susi.

Pementasan malam itu berjalan sukses. Setelah itu kesempatan untuk pentas datang satu per satu. Pentas kami berikutnya adalah saat membuka acara festival film Kota Tangerang, pentas di Kuliner Night, pentas di Jakarta dalam acara Pemilihan Duta Inklusi di kantor Kemenko PMK dan lainnya.
Pada saat mulai dikenal, kendala mulai menerpa kelompok kami. Saat sedang gencar memperkenalkan Tari Cokek Sipatmo, jumlah kami menyusut. Ibu-ibu yang semula 20 orang yang dilatih oleh ibu Kartini Kisam, lama kelamaan menyusut menjadi 10 orang. Setiap mau pentas ada saja kendala dan permasalahannya.

 Terpikir oleh kami memperbanyak anggota dengan cara melatih orang-orang baru. Dengan demikian mau tidak mau beberapa dari kami harus menjadi pelatih. Dengan mengumpulkan keberanian, tiga orang dari kami, Ibu Heny, Ibu Vera dan Ibu Susi mulai menjadi pelatih tari. Kami menjalin kerjasama dengan dua sekolah sekaligus. “Saya gembira karena bisa melatih Tari Cokek Sipatmo di sekolah, mung-
kin tanpa adanya program peduli saya tidak akan seperti ini,” kata Ibu Vera.

Melatih Tari Cokek juga menjadi kenangan indah bagi Ibu Susi. “Saya sangat bangga dipanggil ibu guru, hehehe...” gurau Susi. Setelah melatih tari, ia dipanggil ibu guru oleh para siswa dan siswi anggotanya. Ia mengaku bangga telah menjadi penjaga tradisi Cina Benteng dari ancaman kepunahan, khususnya Tari Cokek Sipatmo.  Perjalanan mengenalkan kembali Tari Cokek Sipatmo masih panjang. Apa yang kami lakukan ini baru langkah awal. Ibu Kartini Kisam mengusulkan agar Tari Cokek Sipatmo menjadi kegiatan ekskul di sekolah-sekolah di Tangerang. (TES)