Lentera Merah Perempuan Cina Benteng

Kesibukan Koperasi Lentera Benteng Jaya

Oleh Titik Suryatmi 

AKU MELANGKAHKAN KAKI menyusuri jalan setapak di sisi Sungai Cisadane yang airnya mengalun tenang. Langit tampak gelap tertutup mendung, pertanda hujan akan turun seiring dengan meredupnya cahaya matahari. Aku terus melangkahkan kaki di jalan sempit di atas tanggul sungai di kanan dan kirinya penuh rumput dan ilalang.

Sesampainya di Kampung Sewan Lebak Wangi, Kota Tangerang, mataku tertuju pada Kelenteng Tjong Tek Bio yang berdiri angkuh dengan kesan angker. Pintu gerbangnya yang tinggi menggapai langit diapit oleh dua patung Liong yang seolah ingin menerkam siapa saja yang mendekatinya. Dari kejauhan terlihat patung naga raksasa membelit tiang tiang besar berwarna merah darah. Di bagian atas, pada pinggiran plafon terdapat 1.000 lentera merah bergelantungan, membuat ruangan semakin indah bercahaya.
Bulu kudukku merinding saat melangkah perlahan memasuki kelenteng tua itu. Mataku tak bisa lepas dari patung dewa-dewa yang berjajar di altar tempat sembahyang. Sorot mata dewa-dewa itu melihatku, seakan ingin menunjukkan kekuatannya. Di kelenteng ini, persembahan kepada mereka tak putus dipersembahkan oleh para peziarah.

Nuansa mistis merasuk melalui hidung setelah tercium aroma hio yang dibakar. Pagar tinggi yang mengelilingi kelenteng dan tungku pembakaran di tengahnya menambah kesan sakral tak terjamah. Penampilan tempat ibadah umat Kong Hu Cu ini meng ingatkanku pada legenda Hok Tek Tjen Sin atau dewa bumi yang konon bersemayam di kelenteng ini. Kelenteng yang dibangun tahun 1830 itu adalah salah satu tujuanku datang ke sini. Inilah pertama kalinya aku melihat bangunan bersejarah ini secara langsung. Mataku nyaris tak berkedip mengamati setiap detailnya yang menawan. Megah, klasik, mistis, dan misterius. Kelenteng tua ini dahulu adalah Wihara Maha Bodhi yang berlokasi di sisi jalan besar Sewan Lebakwangi. Namun pada tahun 1966 dipindahkan ke pertengahan pemukiman warga karena lokasi lama sering direndam banjir.

Puas menikmati pesona kelenteng, aku melanjutkan perjalanan. Kakiku berjalan menyusuri gang-gang sempit di sela rumah-rumah bambu beratap rumbia di perkampungan padat sekitar kelenteng. Aku ingin menyatu dengan kultur lokal yang agamais berbalut budaya Tionghoa. Aku datang ke tempat itu sebagai petugas lapangan dari Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita Jakarta (PPSW Jakarta) untuk Program Peduli yang salah satunya diperuntukkan untuk memberdayakan perempuan Cina Benteng. Survei pendahuluan diperlukan untuk menjajaki pemberdayaan ekonomi mereka melalui koperasi.

Telah beberapa lama Aku menapaki gang-gang sempit yang hanya bisa dilewati sepeda motor ini. Targetku kali ini adalah menemui ibu-ibu yang sedang berkumpul. Feeling mengarahkan langkah kakiku ke warung kopi yang agaknya menjadi tempat mangkal ibu-ibu.

Aku mengambil tempat duduk di samping seorang ibu muda berbaju merah. Ia seorang wanita paruh baya berkulit putih, bermata sipit, dan berwajah manis. Ia memandangku dengan sudut matanya saat aku mulai menyapa. “Selamat siang bu,” sapaku sembari melempar senyum. “Selamat siang,” jawabnya berusaha ramah namun dengan senyum tertahan. Kami agak canggung pada awalnya, namun pembicaraan kecil berhasil memecahkan kebekuan dalam beberapa menit. Kami berbincang-bincang sedikit tentang cuaca yang panas hari itu. Obrolan sembari minum es sirup dan tahu goreng ini lama-lama membuat kami akrab juga. Belakangan Aku tahu namanya Henny Liem. Selengkapnya baca buku Cerita dari Negeri Inklusi di link berikut ini